Detik itu bukanlah waktunya shalat fardhu. Seorang ahli ibadah terheran-heran karena ada anak berusia sekitar sepuluh tahun yang telah lebih dulu berada di masjid. Ia tampak sedang shalat dengan khusyu’. Sang ahli ibadah ini pun menungguinya hingga selesai shalat.
“Wahai Nak, kamu putra siapa?” tanyanya dengan nada kagum.
Bukannya langsung menjawab, anak tersebut justru menundukkan kepalanya. Bulir-bulir air matanya mulai berjatuhan di pipi. “Wahai paman, aku ini yatim piatu,” ucapnya, lirih.
Mengetahui kondisinya yang sebatang kara, sang ahli ibadah ini pun merasa iba. “Maukah engkau kuangkat sebagai anakku?” pintanya dengan lembut.
“Apakah engkau akan memberiku makan jika aku lapar?”
“Ya, tentu saja.”
“Apakah engkau akan memberiku pakaian jika aku tidak berpakaian?”
“Ya.”
“Apakah engkau akan menyembuhkanku jika aku sakit?”
“Aku tidak mampu melakukan itu.”
“Apakah engkau akan menghidupkanku jika aku mati?” pertanyaan ini membuatnya tersentak.
“Aku tidak mungkin dapat melakukannya.”
“Jika demikian, wahai paman, biarkan aku menjadi milik Dzat yang menciptakanku karena Dialah yang memberiku hidayah, memberiku makan dan minum. Jika aku sakit, Dialah yang Menyembuhkanku. Dan Dialah yang aku harapkan ampunannya atas dosa-dosaku.”
Mendengar jawaban tersebut, sang ahli ibadah ini laksana mendapatkan oase di tengah gurun. Ia baru saja menerima nasehat menggetarkan yang bahkan tak sembarang mubaligh bisa menyampaikannya se-menyentuh itu. “Aku beriman kepada Allah. Siapapun yang bertawakal kepadaNya, Ia akan memberikan kecukupan kepadanya,” gumamnya saat meninggalkan anak tersebut. [IK/bersamadakwah]
*Disarikan dari As’adu Imra’atin fil ‘Alam karya Syikr DR Aidh Al Qarni (penulis buku La Tahzan)
Posting Komentar