Satu di antara sekian banyaknya sebab yang menjadikan seseorang mengalami kegagalan dalam hidupnya adalah sikap menunda amal. Menunda ini terjadi karena suka beralasan dan terkadang, sibuk mencari pembenaran. Di mana pembenaran-pembenaran itu, kebanyakannya tidak benar sedikitpun. Sikap menunda amal inilah yang kini menjangkiti banyak orang. Tidak hanya terkait kehidupan duniawi, tetapi juga terkait kehidupan akhirat.
Ketika masih berada dalam masa muda, kelompok ini akan berseloroh santai, “Ngapain repot-repot beramal? Usia kita masih muda. Mati masih jauh. Gak usahlah menjadi orang yang sok sholih, sok baik, dan sok ‘alim.”
Lebih lanjut, golongan ini akan menambahkan, “Sekarang, waktunya kita bersenang-senang. Sebelum tua. Nanti ketika sudah puas, usia kita menginjak senja, barulah kita bertaubat. Rajin ke masjid, baca al-Qur’an, dan amal lainnya. Karena, ketika memasuki usia tua, mati semakin dekat.”
Sayangnya, omongan ini diingkari oleh pelakunya sendiri. Karena, kebanyakan mereka yang mengatakan seperti ini ketika mudanya, akan kembali beralasan selepas tua. Ketika kemudian mereka sudah bau tanah, dia akan kembali berkata, tak berdaya namun tetap pongah, “Umur saya tak banyak lagi. Berbuat baik juga percuma. Gak akan cukup. Mending pasrah saja. Kalian sajalah yang beramal sholih, karena kalian masih muda, tenaga masih penuh dan masih punya banyak masa depan.”
Padahal, jika kita melihat apa yang dialami oleh teladan kebaikan kita di masa lalu, generasi Rasulullah dan dua generasi setelahnya, kita akan mendapati hal yang berkebalikan.
‘Ali bin Abi Thalib adalah satu contoh pemuda yang menghabiskan waktunya dalam kebaikan. Hingga kemudian, dirinya dijamin masuk surga oleh Rasulullah yang mulia. Dari generasi tua, kita juga mendapati contoh yang sangat banyak. Satu diantaranya, adalah sahabat anshar yang bernama Amrul Ibnul Jamuh. Beliau, berhasil merawat iman dan tak kehilangan semangat beramal. Meskipun, usianya menjelang terbenam.
Dalam sebuah panggilan jihad, lelaki ini bergegas. Padahal, lelaki ini berjalan dalam keadaan pincang. Lalu dia berpamit kepada anak-anaknya, “Anak-anakku, ijinkan ayah pergi ke medan jihad.” Anak-anak yang dipamitinya, menjawab dengan terkejut, seraya melarang, “Jangan ayah! Kau tak usah lagi berangkat berjihad. Fisik dan usiamu juga sudah tidak memungkinkan. Insya Allah, Allah dan Rasulnya mengetahui keadaanmu ini.” Maksud anak-anaknya adalah baik. Karena memang, dalam berjihad, dibutuhkan fisik prima.
Tak disangka, tak dinyana, lelaki surga ini menjawab dengan tegas, “Mengapa kalian menghalangiku untuk masuk surga?” Tak bisa menjawab pertanyaan bapaknya, akhirnya mereka mendatangi Rasulullah.
Sang bapak memulai kalamnya, “Ya Rasul, ijinkan aku untuk ikut berperang. Jika kelak aku mati syahid di medan perang, ijinkan aku masuk surga dalam keadaan pincang seperti sekarang ini.” Rasul mengangguk, dan berangkatlah kafilah jihad itu ke medan laga.
Seusainya, Rasul mendapat laporan bahwa Amrul Ibnul Jamuh al-Anshari syahid di medan perang. Seraya tersenyum, Nabi berkata, “Demi Allah, aku seolah melihat Amrul Ibnul Jamuh berlalu dengan baik meski kakinya pincang ke dalam surga.”
Allahu Akbar Walillahil Hamd. Menyeksamai kisah ini, kita menjadi semakin yakin, bahwa bagi kita, surga masih teramat sangat jauh. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
Posting Komentar