Hari itu, Senin 19 Jumadil Ula 857 H, bertepatan dengan 28 Mei 1453 M. Muhammad Al Fatih kembali menginspeksi pasukan. Ia memastikan semua peralatan tempur telah dipersiapkan dengan matang. Tak hanya itu, setiap bertemu batalyon, Al Fatih mentaujih mereka untuk ikhlas, selalu berdoa, dan siap berkorban di medan jihad.
“Dengan terbukanya Konstantinopel, kita akan mendapatkan kemuliaan yang abadi dan pahala yang berlimpah dari Allah. Saat kemenangan itu tiba, maka tanah yang selama ini dikuasai musuh-musuh kalian, akan diberkahi. Saat kemenangan itu tiba, kalianlah yang insya Allah dimaksud oleh Rasulullah sebagai pasukan terbaik!”
Al Fatih meyakinkan mereka bahwa Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Dan pasukan penakluk kota itu adalah pasukan terbaik. Ia pun berkali-kali mengingatkan hadits itu. “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (HR. Ahmad)
Malamnya, giliran para ulama dan pasukan sesepuh kaum muslimin yang berkeliling ke seluruh pasukan. Mereka memotivasi pasukan dengan membacakan surat Al Anfal dan ayat-ayat jihad. Para ulama mengingatkan kembali tentang keutamaan mati syahid, sembari mengisahkan sahabat yang syahid saat menuju Konstantinopel, Abu Ayyub Al Anshari.
“Tatkala Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau singgah di rumah Abu Ayyub Al Anshari sebagai kediaman pertama. Dan setelah Rasulullah wafat, Abu Ayyub Al Anshari sengaja mendatangi Konstantinopel dan syahid di sini,” taujih para ulama semakin menguatkan semangat pasukan mujahidin.
Malam berlalu. Jam satu dini hari pada 20 Jumadil Ula, pasukan Al Fatih mulai menyerang Konstantinopel. Gemuruh takbir mendahului panah dan meriam. Gerombolan pasukan Romawi bertumbangan, sebagian lari dilanda ketakutan. Sejumlah benteng pun tertaklukkan.
Sekitar jam tiga, Muhammad Al Fatih memerintahkan menghentikan serangan. Sementara orang-orang Romawi sibuk menerka apa yang terjadi, pasukan Mujahidin sibuk qiyamullail dan menyiapkan kekuatan baru. Pasukan pertama beristirahat, pasukan kedua menyerang setelah Subuh. Matahari yang mulai bersinar membuat pasukan mujahidin tahu lebih jelas pos-pos musuh.
Belum lagi keterkejutan pasukan Romawi pulih, pasukan kedua Mujahidin kembali ke belakang untuk mengistirahatkan meriam dan sebagai gantinya pasukan ketiga yang langsung dipimpin Muhammad Al Fatih menyerbu dengan semangat menggebu-gebu. Benteng besar di hadapan mereka tidak menjadi halangan. Pasukan Al Fatih memanjat benteng itu demi dapat membukanya. Beberapa pemanjat syahid, namun orang-orang Romawi melihat keanehan. Mengapa yang lain tetap memanjat dan tak takut mati seperti temannya yang telah mati? Keberanian pasukan Al Fatih bukan hanya mampu menyergap benteng besar itu, tetapi juga menyergap ketakutan pasukan Romawi. Hingga kemudian terdengar kabar, komandan pasukan Romawi Giovanni Guistiani melarikan diri.
Kaisar Constantine akhirnya memimpin sendiri pasukan Romawi. Tapi tak lama setelah itu iapun tewas. Pasukan Romawi menyerah, Konstantinopel pun dapat ditaklukkan sebagaimana sabda Rasulullah delapan abad sebelumnya.
Dan yang ajaib, penduduk Konstantinopel pun sangat respek dengan Islam, begitu mereka tahu perlakuan Al Fatih yang penuh kasih. Al Fatih tidak memandang mereka sebagai tawanan, tetapi mengedepankan kemanusiaan. Al Fatih tidak pernah melarang mereka ke gereja, sebagaimana ia juga tidak memaksa mereka masuk Islam. Nyatanya, akhlak mulia Al Fatih justru membuat mereka berduyun-duyun masuk Islam. Dan di kemudian hari, Konstantinopel pun menjadi ibukota Daulah Khilafah Ustmaniyah. Namanya diubah menjadi Islam Bul (Kota Islam), kini disebut Istanbul.
Demikianlah kemenangan Islam. Ia selalu didahului dengan kemenangan ruhiyah, di samping persiapan materi dan strategi. Ia selalu diawali dengan kedekatan kepada Ilahi, sebelum berhasil menaklukkan hati. [Abu Nida]
Posting Komentar