Hidup adalah kumpulan ujian. Siapa yang bisa melaluinya dengan baik, baginya kesuksesan. Yang menyikapinya dengan buruk, meremehkan, lalu acuh, baginya kegagalan hidup di dunia dan akhirat.
Ujian tak selalu berbentuk keburukan. Ia berjenis pula kebaikan. Makanya, dalam al-Qur’an, ujian menggunakan kata fitnah. Maknanya, selama kita menjadi manusia, selama kita masih hidup di dunia ini, maka selama itu pula ujian hidup akan terus menemani di sepanjang perjalanan kehidupan kita hingga ajal menjelang.
Jenis-jenis Ujian
Ujian selalu bepasangan. Ada yang berbentuk kebaikan, ada pula yang berjenis keburukan. Ada yang kecil, ada juga yang besar. Ada yang berasal dari diri sendiri, juga orang lain (pasangan hidup, anak, keluarga juga masyarakat).
Ujian bisa berbentuk tampang yang kurang menawan, jelek, kulit hitam, pendek. Letak ujiannya, apakah dia bisa mensyukuri semua yang telah Allah berikan? Apakah dia bersabar atas keburukan tampilan fisiknya, atau sebaliknya?
Yang diberi tampang rupawan pun, merupakan jenis ujian lain. Jika ia adalah seorang wanita dengan tinggi semampai, rambut menjuntai panjang, kulit bening, wajah artis, maka itu semua adalah ujian. Bukan berarti dia tidak diuji dan bisa hidup seenak kehendaknya. Justru, ujian yang dihadapi oleh orang jenis ini tak beda beratnya dengan ujian yang dialami oleh mereka yang buruk rupa.
Kemiskinan juga ujian. Karena ia selalu bermakna ganda: miskin karena malas atau memang memilih hidup miskin tapi hatinya kaya? Atau, apakah memang kaya belum bersahabat meski sudah membanting tulang dan memeras keringat di pagi, siang, sore dan malam hari?
Sebaliknya, kaya juga bentuk ujian yang tak mudah. Berapa banyak orang-orang terdahulu yang dijerumuskan oleh Allah bersebab sombong lantaran kekayaan yang diberikan kepadanya? Bukankah Qorun yang ada di zamannya Nabi Musa adalah orang yang teramat kaya? Bahkan, kunci gudang hartanya tidak kuat dipikul oleh sebanyak apapun manusia di zamannya? Lantas, kenapa akhir kehidupannya justru berujung pada siksa dan dimasukkan ke dalam neraka?
Jabatan juga ujian. Fir’aun itu rajanya raja ketika itu. Apa yang dia mau, tinggal klik! Bahkan, dia mengklaim bisa menghidupkan dengan tidak membunuh rakyatnya. Dan, bisa mematikan dengan memenggal leher setiap yang tidak sependapat dengan maunya. Klosingnya, dia mengaku sebagai Tuhan alam semesta. Siapa yang mau berjabatan tinggi tapi berakhir seperti Fir’aun? Na’udzubillah.
Sebaliknya, tak punya jabatan formal apapun juga ujian. Bukankah sebelum sebagai apapun kita adalah seorang pemimpin? Bukankah itu bermakna bahwa kita adalah Presiden bagi diri kita sendiri yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya? Selanjutnya, jika kita menikah, maka kita akan menjadi imam bagi keluarga kita. Jika seorang istri, maka dia adalah manajer bagi rumah tangga dan anak-anaknya. Berapa banyak orang ‘biasa’ seperti ini yang terjerumus karena salah memaknai ujian?[]
(Bersambung ke Sukses Menyikapi Ujian Hidup)
Penulis : Pirman
Redaktur Bersamadakwah.com
Posting Komentar