Sebagai salah satu jamaah dakwah yang berkomitmen menegakkan kalimat tauhid, Al Ikhwan Al Muslimun terus berusaha melebarkan sayap dakwahnya hingga ke seluruh pelosok dunia. Tak dipungkiri, jamaah ini terus berkembang hingga menjadi salah satu kelompok Islam terbesar di dunia. Pergerakannya yang syumul dan komprehensif dengan memasuki ranah dakwah politik, perekonomian, pendidikan, dan sosial budaya telah membuat jamaah bentukan dari imam as syahid Hasan Al Banna ini mudah diterima oleh banyak kalangan, mulai dari rakyat jelata hingga elite pejabat negara sekalipun.
Keseluruhan ladang dakwah yang menjadi garapan Al Ikhwan Al Muslimun itu bukannya tanpa celah untuk menjadikannya bahan olokan dan cibiran oleh kelompok lain, bahkan dari kalangan islamis sendiri tak sedikit yang mengoloknya. Dakwah Al Ikhwan Al Muslimun yang dianggap terlalu toleran dan ‘sedikit pro’ barat, misalnya perjuangan dakwah melalui parlemen dan demokrasi, telah menyulut banyak kontroversi di kalangan ulama-ulama. Tak sedikit cibiran, cemoohan dan ejekan tertuju pada jamaah ini hanya karena Al Ikhwan Al Muslimun turut terlibat dalam sistem demokrasi tanpa melihat jerih payah lain yang telah saudara-saudara ikhwan lakukan.
Sindiran acapkali datang dari ulama-ulama dan aktivis anti demokrasi, khususnya dari ulama dan aktivis islamis jihady. Mereka mempertanyakan ijtihad Al Ikhwan Al Muslimun yang tidak mau berjuang lewat jalan jihad sebagaimana jalan yang telah dituntunkan oleh Rasul Muhammad SAW. Bahkan tidak sedikit yang melabeli jamaah Al Ikhwan Al Muslimun sebagai jamaah pendukung thogut dan sudah masuk kategori jamaah kuffur karena tidak menggunakan hukum Allah sebagai pedoman hidup. Mereka menganggap Al Ikhwan Al Muslimun sudah melenceng dari manhaj Rasul SAW, menyebutnya jamaah oportunis karena sering cari aman, dan enggan melaksankan jihad qital. Intinya mereka mempertanyakan konsistensi dan komitmen Al Ikhwan Al Muslimun terhadap syariat jihad yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya sebagaimana telah dituliskan pada kitab suci Al Quranul Karim.
Dari sini menarik untuk dicermati, apakah benar Al Ikhwan Al Muslimun menolak jihad dan lebih menyukai demokrasi?
Tak kenal maka tak tahu. Sebelum kita memberikan justifikasi ini itu kepada Al Ikhwan Al Muslimun, mari kita kenali seluk beluk jamaah ini dari para penggagasnya. Dalam kitab Majmuaturrasail jilid 2 karangan imam as Syahid Hasan Al Banna, telah disebutkan terkait syariat jihad, bahwa jamaah Al Ikhwan Al Muslimun haruslah memegang teguh syariat jihad. JIhad sebagai mutiara berharga yang hilang di tengah-tengah umat Islam, maka ummat harus menjaganya. Karena esensi jihad yang sebenarnya adalah ujung tombak penggerak bagi kejayaan dan Izzah Islam wal Muslimin. Hal inilah yang membuat Imam Hasan Albanna menyoroti dan menyadarkan ummat terhadap pentingnya makna risalah jihad dan kewajiban atasnya berdasarkan kitabullah dan hadist-hadist shahih disertai pendapat para Ahli Fiqih.
Selain itu, Syaikh Fathi Yakan, salah satu aktivis Al Ikhwan Al Muslimun dalam kitabnya yang berjudul Nahwa Wa’yin Harakiyyin Islami Abjadiyyatut Tashawwur Al Haraki lil Amalil Islami (Prinsip-Prinsip Gerakan Islam), pada prinsip yang kelima beliau mengatakan bahwa tarbiyah jihadiyah atau pendidikan jihad adalah satu elemen penting dalam gerakan Islam. Beliau memahami betul bahwa persepsi perjuangan jihad ini banyak dipahami berbeda-beda oleh setiap kelompok Islam. Ada kelompok yang menolak cara jihad secara keseluruhan. Mereka merasa cukup dengan perjuangan yang lebih rendah dari jihad secara fisik, semisal jihad melawan hawa nafsu jihad mencari nafkah, jihad dengan amar makruf nahi munkar, tanpa memikirkan sama sekali untuk jihad menggunakan senjata dalam mengubah tatanan masyarakat dan mewujudkan revolusi Islam. Ada juga kelompok Islam yang tidak mau kompromi dengan segala bentuk kerusakan, satu-satunya jalan meraih kemenangan adalah dengan jihad qital atau jihad senjata. Ada juga jamaah yang menganggap jihad qital hanya dapat dilakukan ketika syarat-syarat untuk melakukan jihad tersebut telah terpenuhi, misalnya ketika musuhnya jelas adalah orang-orang kuffar yang memerangi agama. Pada prinsipnya, Syaikh Fathi Yakan telah menanamkan agar dirinya dan kaum muslimin untuk tetap teguh memegang jalan jihad, sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Syahid Hasan Al Banna pada kitab Majmuatur rasail.
Setelah kita paham akan kandungan ajaran dan tokoh Al Ikhwan Al Muslimun, sekarang kita buktikan apakah benar Al Ikhwan Al Muslimun enggan melaksanakan jihad qital sebagaimana yang dituduhkan. Tentu kita ingat dengan perang Afghanistan, perang besar yang melibatkan berbagai kekuatan besar dunia, yaitu Uni Soviet, Amerika, dan Umat Islam. Perang Afghanistan ini sejatinya sudah dimulai sejak era tahun 1970-an. Ketika itu Uni Soviet melakukan invasi atas Negara Afghanistan untuk menguasai minyak dan sumber daya alam agar tetap dapat mempertahankan hegemoninya sebagai salah satu Negara adikuasa di dunia selain Amerika. Para ulama saat itu termasuk Syaikh bin Baz di Saudi menyerukan fatwa wajibnya Jihad fi sabilillah membela kaum muslimin di Afghanistan. Pasukan jamaah jihad di Afghanistan mencapai puncaknya setelah Sayyid Quthb yang merupakan pembesar Al Ikhwan Al Muslimun di Mesir menulis kitabnya yang berjudul Ma’alim fi al-Tariq (petunjuk jalan) dari bilik penjara. Buku Sayyid Qutub ini telah menginspirasi jamaah jihadi dan kaum muslimin secara besar-besaran berduyun-duyun berangkat ke Afghanistan untuk melaksanakan syariat jihad membela kaum muslimin yang tertindas. Tak ayal, jamaah Al Ikhwan Al Muslimun menjadi fraksi terbesar dalam kelompok jihad di perang Afghanistan tersebut, melebur dan bergabung bersama jamaah Islam lainnya seperti dari kalangan salafi jihadi. Tak ketinggalan kader Al Ikhwan Al Muslimun yang memiliki ruh jihad tinggi, yakni Syaikh Abdullah Azam dan Muhammad Qutb (adik Sayyid Qutb) ikut eksodus dari Mesir untuk turut serta berjihad melawan penjajah.
Sekarang kita simak realita kedua yang akan kita awali dengan sebuah pertanyaan, “Siapakah yang saat ini komitmen mempertahankan dan berjuang untuk membela tanah Palestina dari tangah penjajah Israel?” Jika kita cerdas dan mau jujur, jawaban hanya mengerucut pada satu kata, yaitu Hamas (Harakat al-Muqawwamatul Islamiyyah). Hamas didirikan oleh Syaikh Ahmad Yassin yang telah berbaiat menjadi anggota cabang Al Ikhwan Al Muslimun di Palestina. Latar belakang berdirinya Hamas juga tak lepas dari sikap Fatah, kelompok Islam terdahulu yang ada di Palestina yang terlalu bersikap lunak dengan penjajah Israel. Sampai saat ini Hamas tetap komitmen menjadi sayap Al Ikhwan Al Muslimun di Palestina dan tak kenal kompromi terhadap Israel. Bahkan seringkali Israel mengajukan permohonan gencatan senjata tatkala kalah perang dengan brigade Al Qassam, tentara pejuang Hamas.
Saudaraku sekalian, kenalilah orang lain terlebih dahulu sebelum kalian memberikan vonis-vonis negatif kepada mereka. Bisa jadi mereka adalah orang baik yang terkadang kebaikannya sulit kita lihat hanya karena mata kita yang pedih lantaran terkena setitik debu kejelekan.
Silakan ambil kesimpulan, semoga Allah merahmati. Barakallahu fii umrik. []
Penulis : Ahmad Fauzan ‘Adziimaa
Aktifis Lembaga Dakwah Kampus JMMI ITS
Posting Komentar