Jika masih ada yang benar-benar menganggur, atau merasa menjadi pengangguran, maka menikahlah. Insya Allah, selepas itu akan banyak kesibukan. Mulai dari mencari nafkah, antar-jemput istri, nemenin belanja, bersih-bersih rumah, membantu istri memasak, dan banyak lagi yang lainnya. Termasuk; ngobrol santai bersama mertua, mijitin mertua, ngaji bareng mertua, dan silaturahim ke keluarga baru kedua belah pihak.
Jika kesemua hal itu dilakukan di sepanjang hari saja, insya Allah tak ada waktu kosong. Bahkan mungkin, anda kekurangan waktu untuk melakukan itu semua. Belum cukup?
Silahkan dilanjutkan dengan ngaji bersama istri/suami, membaca buku bersama, menelaah kitab, menulis sambil berdiskusi, gantian membuatkan minuman, bercanda, musyawarah merencanakan masa depan cemerlang, mendiskusikan aneka hal yang terjadi di dunia Islam, juga membahas untuk kemajuan keluarga, masyarakat juga negeri dimana kita berpijak, dan seterusnya.
Insya Allah, semua kesibukan itu sangat berharga. Dan, bernilai surga.
Apalagi, pernikahan yang suci ini, akan merubah drastis semua tentang diri kita. Baik itu status, tanggung jawab, kewajiban, hak dan juga terkait apapun yang kita lakukan.
Bahkan, dari pernikahan yang disucikan ini, sesuatu yang awalnya dilarang, berdosa dan menimbulkan kerusakan, lantaran ijin Allah melalui ijab qobul, menjadi sesuatu yang halal, baik, dianjurkan dan menjadi sumber ketenangan diri juga masyarakat sekitar serta menjadi sarana untuk masuk surga.
Masih banyak hal lain yang bernilai ibadah selepas kita menikah. Termasuk di dalamnya, canda diantara suami-istri. Yang dalam sebuah hadits, perbuatan itu dikategorikan dalam bermain-main yang diajurkan dan diganjari pahala, setara dengan mempersiapkan kendaraan di medan perang. Lebih lanjut, jika pun bercanda ini dilakukan di malam hari, maka ia menjadi berpahala. Padahal, selain canda dengan istri dan berjaga di jalan Allah, menghabiskan waktu selepas isya’ masuk dalam kategori kesia-siaan.
Sehingga, selepas kita menggenapkan setengah din ini, akan banyak ibadah yang bisa dioptimalkan. Tentu, dengan tidak mengabaikan setengah yang lainnya, yakni taqwa kita kepada Allah subhanahu wa Ta’alaa.
Penting diingat. Selain berpotensi menghasilkan banyak amal berpahala, menikah juga bisa menjadi pemicu timbulnya banyak dosa. Bahkan, dosa baru yang diakumulasikan karena dilakukan oleh banyak orang.
Misalnya, ketika masih sendiri, kita bisa membuang sampah sembarangan di kamar, dosa dan kerugiannya pun untuk diri sendiri. Tapi selepas menikah, jika kebiasaan ini berlanjut, bisa ditiru oleh pasangan kita. Dan, ia bisa berdalih, “Kan, niru kamu!” Jika tetap tidak berubah, dan suami-istri berada dalam kebiasaan buruk serupa hingga kemudian memiliki anak, maka tak menutup kemungkinan, anak-anak yang lahir kelak, akan berkata dengan mudahnya, “Kan, niru abi dan umi?”
Sehingga, hal ini harus menjadi perhatian serius bagi kita yang sudah maupun akan mengambil langkah besar ini. Prinsipnya, tidak ada yang instan. Niatkan karena Allah, maka Dia akan memberikan jalan yang terbaik.
Tak kalah pentingnya, untuk saling melengkapi. Jadilah seperti toples dan tutupnya. Atau, ember dan airnya. Atau, pot dan bunganya. Jangan sebaliknya. Dengan demikian, kita akan selalu sibuk untuk berbuat baik. Termasuk di dalamnya, memperbaiki diri. Karena hal itu merupakan kesibukan yang tak akan pernah usai, hingga ajal menjelang.
Dengan menikah, kita tak akan lagi menjadi pengangguran. Tak percaya? Buktikan saja! []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
Posting Komentar